Jatuh Bangun (Penulis) Thriller Lokal


Dari sekian banyak genre bacaan yang ada, boleh dibilang bahwa selera pasar Indonesia masih berpihak pada romance atau kisah-kisah percintaan. Thriller dan fantasi barangkali menjadi genre-genre yang termasuk ‘sepi peminat’ di pasaran. Tapi, sepi bukan berarti tak ada, sebab ada sekian persen orang yang memang sangat menggemari salah satu dari kedua genre tersebut. Saya sendiri termasuk pembaca thriller.

Novel thriller sendiri bisa diartikan sebagai novel yang selalu menceritakan tentang masalah hidup atau mati. Seringkali cerita dalam novel berkaitan dengan kejahatan atau tindakan supranatural, namun akar cerita tetap pada bagaimana tokoh utama dapat bertahan hidup. Ada beberapa sub-genre novel Thriller antara lain; crime, conspiracy-thriller, psychological, dan lain sebagainya, bisa dilihat di sini

Walau tahu bahwa banyak sekali thriller keren hasil karya penulis luar (sebutlah Stephen King dengan Carrie misalnya, atau Gillian Flynn dengan Gone Girl-nya yang cukup ‘sakit jiwa’ itu), tapi entah mengapa saya kadang tertarik pula untuk ingin tahu bagaimana sebenarnya kondisi atau perjalanan penulis genre thriller lokal dan bagaimana tingkat penjualannya di pasar Indonesia.

Mungkin tak akan sejajar bila dibandingkan dengan penjualan buku-buku impor dengan genre sejenis, jadi mari telisik dahulu milik dalam negeri sendiri. Beberapa hari lalu saya berbincang dengan seorang kawan –pembaca sekaligus penulis thriller dalam negeri: Brahmanto Anindito (jika kalian penasaran, karya beliau di antaranya; Satin Merah (Gagas Media), Rahasia Sunyi (Gagas Media), atau yang terbaru ada Tiga Sandera Terakhir yang diterbitkan oleh Noura Books. Perkenalan saya dengan beliau terjadi beberapa tahun lalu ketika saya sedang ingin mewawancarai penulis favorit. Saya salah satu pembaca sekaligus penggemar tulisan-tulisan beliau, dan sekarang menjadi kawan kecil yang bawel. 

Siang itu ketika saya mengontak Bang Brahm, beliau sedang berada di perjalanan, sehingga saya diminta mengirimkan pertanyaan via e-mail saja. Pertanyaan-pertanyaan yang menurut Bang Brahm lebih sulit dari soal-soal Ujian Nasional itu akhirnya mendapat jawaban dua hari kemudian. 

Saya ingat, hal pertama yang saya tanyakan adalah mengapa beliau memilih menekuni genre thriller di tengah gempuran romance yang membanjiri rak-rak toko buku Indonesia. Jawabannya kurang lebih sama dengan apa yang saya rasakan selama ini: sebab terbiasa membaca karya-karya serupa semenjak kecil dan sedikit banyak terpengaruh oleh bacaan tersebut; novelet-novelet Enid Blyton (Lima Sekawan), M. Master (Detektif Cilik), Alfred Hitchcock (Trio Detektif), Stefan Wolf (STOP), dll. 
“Pada akhirnya, aku memilih thriller dan berbagai variannya, karena lebih suka genre yang tidak banyak ditulis orang. Meskipun risikonya juga tak banyak dibeli orang.” 
Ya, ini kadang masalah ideologi, bukan hanya royalti dan penghasilan. Hihi… 

Risiko-risiko itulah yang kemudian menjadi sebagian dari duka penulis thriller lokal: peminat buku mereka tak sebanyak peminat novel genre lainnya, terutama romance. Dan tentu, segala hal punya suka dukanya sendiri. Di antara duka-duka itu, ada sebuah suka yang tak terhingga rasanya: menulis sesuai passion dan mengerjakan segala sesuatunya dengan nikmat. Bahkan ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri ketika naskah tersebut terbit! 

Kondisi Pasar yang Tak Pernah Meledak 

Menurut percakapan saya dengan Bang Brahm pula, walau penerbit lebih paham tentang kondisi pasar, tapi para penulis ‘minoritas’ itu pun sedikit banyaknya tahu bahwa pasar genre thriller tak meledak, sebab di Indonesia masih bicara soal selera pasar. Orang-orang masih mengikuti selera pasar, bukan menciptakan selera pasar. Thriller masih jauh jika dibandingkan dengan buku-buku karya Radityadika, Asma Nadia, Eka Kurniawan, Dee Lestari, dan sebagainya. Tapi, penjualan thriller pun sejauh ini lumayan berstruktur. 

Thriller yang Disukai Pembaca Indonesia 

Tak ada yang bisa memastikan hal ini seperti memastikan penjualan romance jenis apa yang paling laris. Saya pikir akan lebih mudah menelisik kondisi genre romance di pasaran, sebab jika dilakukan survey pun respondennya tak sedikit. Namun, thriller yang sejauh ini masih diminati pembaca kita adalah thriller berbau konspirasi seperti Jacatra Secret, Rahasia Meede, atau Negara Kelima. 

Bagian Tersulit dari Menulis Thriller 

Sama seperti hal lain, ketika menulis tentu penulis kadang menemui kesulitan atau rintangan tertentu, tak terkecuali penulis thriller. Dalam hal ini, menurut Bang Brahm, salah satu kesulitan dalam mengolah naskah thriller adalah ketika melakukan riset, dan ketika sedang berusaha mengaitkan data dengan realitas. 

Dalam sesi terakhir wawancara itu, saya menanyakan apa harapan Bang Brahm untuk genre thriller lokal. Jawaban beliau cukup menarik menurut saya. 
“Aku pribadi nggak mengharap novel thriller lokal tiba-tiba banyak pembacanya, karena dengan kultur homogenisasi dan mainstreamisasi kita, perubahan tren itu hanya akan membuat genre thriller menjadi pasaran! Harapanku hanya supaya supply (penulis dan penerbit) dan demand (pembaca) masing-masing genre lebih berimbang. Itu saja.” 
Sebagai genre ‘minoritas’, bagi saya dari sisi pembaca, rasanya masih agak sulit menemukan novel thriller lokal yang benar-benar terasa greget. Tapi barangkali Bang Brahm ada benarnya pula, jangan sampai thriller jadi pasaran seperti romance, sebab tak akan seru lagi rasanya. Biarlah genre yang satu ini tetap hidup dalam hati masing-masing penggemar setianya di Indonesia (yang tak seberapa itu) tanpa harus menjadi mainstream

Sebab anti mainstream kerap kali lebih keren, bukan? 

Anggap saja begitu. 

Previous
Next Post »

6 comments

Write comments
R. Wahyu
AUTHOR
02 June, 2016 14:11 delete

Super sekali kakak.... saya juga penggemar novel thriller. Tapi yang saya tahu hanya S.Mara Gd dan V. Lestari saja yang novelnya sudah tahun 80-an... Kasih rekomendasi donk kak siapa saja penulis thriller lokal

Reply
avatar
Evyta Ar
AUTHOR
08 June, 2016 15:03 delete

yang saya tahu itu beberapa, lumayan banyak juga sih.

Rizki Ridyasmara : The Jacatra Secret, Sukuh, Codex
Sidik Nugroho : Tewasnya Gagak Hitam
Ruwi Meita : Misteri Patung Garam
Riawani Elyta : Secret of room 403
Es Ito : Rahasia Meede, Negara Kelima
Tsugaeda : Rencana Besar, Sudut Mati
Yogie Nugraha: Koin Terakhir

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
09 June, 2016 10:49 delete

:ng "...tanpa harus menjadi mainstream" ya?
Selama orang Indonesia gak suka mikir 'belibet' dan demen riset, thriller masih menjadi karya 'minoritas'. Saya penyuka genre thriller, meski gak fanatik-fanatik amat. Sudah baca beberapa karya lokal dan jatuh cinta dengan Satin Merah karena nuansa Sundanya he he

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
14 June, 2016 11:58 delete

wow keren nih buku.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat web yuk disini saja. terimakasih

Reply
avatar
Anonymous
AUTHOR
15 June, 2016 16:17 delete

Menambahkan sedikit, ya.

Ada Katarsis, karya Anastasia Aemilia.
Seruak - Vinca Callista
Ruwi Meita sendiri punya Rumah Lebah dan Sex in Chatting, selain Misteri Patung Garam
Ada Vasca Vannisa. Ini salah satu favorit saya untuk thriller psikologi. Tapi kalau baca tulisan dia, sabar-sabar sama kerapian tulisan. Secara garis besar, saya suka ide-idenya. Sebab tulisannya sendiri bisa dibilang kurang rapi, mungkin karena beliau mengeditnya sendiri dan menerbitkan sendiri.

Dan tentu saja buku-buku karya narsum saya di atas :) Ada Satin Merah, Rahasia Sunyi, dan Tiga Sandera Terakhir.

Reply
avatar
Anonymous
AUTHOR
15 June, 2016 16:21 delete

Selama orang Indonesia gak suka mikir 'belibet' dan demen riset, thriller masih menjadi karya 'minoritas'<---- setuju banget sama kalimat ini.

Gimana, ya.
Soalnya, justru yang paling greget itu ya biasanya twistnya berlapis. Dan itu jelas belibet. Nggak tertebak. Ketika saya membaca buku yang seperti ini, dan tertipu twistnya berkali-kali, saya akan merasa buku tersebut keren.

Tapi mungkin pembaca kita belum senang dengan bacaan macam itu.
Ralat, nggak semua pembaca kita senang dengan bacaan macam itu. Hahaha.

Reply
avatar