Seorang guru bertanya kepada murid-muridnya tentang hobi mereka. Sebagian besar murid mengatakan bahwa membaca adalah hobi mereka yang paling menonjol, setelah itu olahraga. Namun, ada seorang siswa yang mengatakan bahwa yang termasuk hobi adalah mengumpulkan prangko, mendengar musik, melukis, sepak bola, atletik. Menurutnya, membaca bukanlah hobi karena hobi adalah sesuatu yang berkaitan dengan pilihan dan keputusan, suka atau tidak suka, berminat atau tidak berminat. Apakah Anda setuju dengan anggapan tersebut?
Dalam kenyataan, budaya membaca pustaka belum mengambil tempat atau tumbuh dengan subur dalam kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan, animo masyarakat untuk membaca pada masa silam jauh lebih besar daripada masyarakat sekarang. Sebagai contoh, karya sastra Marah Rusli "Siti Nurbaya", yang diterbitkan sebanyak 3000 eksemplar. Setelah hampir setengah abad kemudian, karya tersebut masih diterbitkan lagi dengan jumlah yang sama. Apakah benar, mereka yang hidup pada masa orde lama lebih bersemangat dan gemar membaca daripada orang-orang zaman sekarang? Jika memang begitu kenyataannya, ini semua merupakan indikasi bahwa kita masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan sumber daya kita dan wawasan generasi mendatang dengan mengembangkan budaya membaca.
Dalam kenyataan, budaya membaca pustaka belum mengambil tempat atau tumbuh dengan subur dalam kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan, animo masyarakat untuk membaca pada masa silam jauh lebih besar daripada masyarakat sekarang. Sebagai contoh, karya sastra Marah Rusli "Siti Nurbaya", yang diterbitkan sebanyak 3000 eksemplar. Setelah hampir setengah abad kemudian, karya tersebut masih diterbitkan lagi dengan jumlah yang sama. Apakah benar, mereka yang hidup pada masa orde lama lebih bersemangat dan gemar membaca daripada orang-orang zaman sekarang? Jika memang begitu kenyataannya, ini semua merupakan indikasi bahwa kita masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan sumber daya kita dan wawasan generasi mendatang dengan mengembangkan budaya membaca.
Lebih Suka Mengobrol daripada Membaca
Mengapa masyarakat kurang senang membaca? Apakah masyarakat kita lebih suka mendengar daripada membaca? Fakta menunjukkan bahwa orang-orang di Asia (termasuk Indonesia) cenderung suka mengobrol atau bersosialisasi dan menonton TV. Untuk membaca, hanya diberikan lima menit saja. Setelah itu, buku ditinggalkan begitu saja dan sisa bacaan dibiarkan berhari-hari tanpa disentuh sama sekali. Rupanya membaca menjadi kegiatan yang sangat membosankan dan memberatkan. Itulah sebabnya, ketika sedang antre, tidak banyak orang yang memanfaatkan waktu untuk membaca. Kebanyakan orang lebih memilih untuk merokok, bercakap-cakap dengan orang di sampingnya, atau bermain HP. Hal ini sangat bertolak belakang dengan orang-orang Barat yang memanfaatkan waktu untuk membaca buku yang sengaja dibawa setiap kali mereka pergi.
Dalam sebuah gerbong kereta api, kebanyakan penumpang hanya berdiam diri atau berbincang-bincang dengan penumpang di dekatnya. Dari seluruh penumpang, hanya sepuluh persen di antaranya yang membaca. Itu pun bukan buku yang dibaca, tetapi koran, majalah, dan tabloid. Hal ini menunjukkan bahwa budaya membaca tidak tampak baik di kalangan eksekutif maupun masyarakat umum. Sebenarnya, membaca apa saja memang baik, tetapi alangkah lebih baik kalau membaca karya yang lebih bermanfaat, misalnya buku, karena buku merupakan media informasi yang dapat menolong kita mempelajari pikiran orang lain, metodologi penulisan, gaya bahasa yang digunakan, cara penulis berargumentasi mengenai suatu objek, membandingkan gagasan dan pikiran orang, melihat bagaimana penulis memberi solusi atas suatu masalah, atau karya yang membangun wawasan intelektualitas. Dengan membaca bahan bacaan semacam itu, paling tidak kita dapat belajar sesuatu atau menerapkan langsung hasil bacaan itu. Jadi, membaca bacaan yang bukan sekadar hiburan dapat membentuk gaya hidup kita.
Sayangnya, kurangnya minat membaca menjadi masalah yang sangat serius di Indonesia. Belum banyak dari masyarakat Indonesia yang secara sadar menyediakan waktu untuk membaca, baik di rumah maupun saat sedang menempuh perjalanan jauh mengendarai bus atau kereta. Bahkan, kaum terdidik yang mau membaca pun jumlahnya masih sangat minim. Kebanyakan, anak-anak sekolah hanya mau membaca pada masa ujian semester, ujian nasional, dan menjelang ujian masuk perguruan tinggi. Mereka terdorong untuk membaca karena kebutuhan sesaat dan bukan merupakan kegiatan rutin. Ini benar-benar kenyataan yang memprihatinkan. Padahal, sebagai negara berkembang, membaca merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendasar karena membaca dapat memacu hadirnya manusia berkualitas pada masa yang akan datang. Ini merupakan tantangan bagi semua pihak, bukan hanya pemerintah.
Hak Anak untuk Mendapat Bahan Bacaan
Stephen J. Woodhouse, Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia dan Malaysia, berkata, "Negara-negara berkembanglah yang harus memenuhi hak-hak anak-anak mereka. Hanya dengan memenuhi hak-hak anak, terutama hak untuk pendidikan dan kesehatan serta perlindungan terhadap perlakuan salah, mutu sumber daya manusia dapat ditingkatkan. Dengan peningkatan mutu sumber daya manusia, suatu negara miskin dapat berkembang dan keluar dari kemiskinannya." Ia memfokuskan perhatiannya pada peningkatan kualitas manusia, kepercayaan diri, dan pemenuhan hak individu akan pengetahuan.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meningkatkan keinginan membaca pada generasi penerus, khususnya anak-anak. Melalui membaca, wawasan anak dalam masalah budaya teknologi, sains, iman, maupun berbagai informasi lainnya dapat ditingkatkan. Melalui membaca, anak dapat mengembangkan diri menuju tahap yang lebih maju, memacu diri setara dengan bangsa lain.
Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata bahwa masalah krisis ekonomi dan terjadinya bencana alam sering kali membuat kita kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anak akan pengetahuan. Siapa yang akan menolong mereka? Siapa lagi kalau bukan kita? Kita semua terpanggil untuk menolong meningkatkan sumber daya manusia melalui pemenuhan kebutuhan akan bacaan bagi generasi penerus bangsa, dengan bersikap tanggap terhadap kebutuhan anak-anak dalam keluarga kita, tetangga-tetangga di sekitar kita, dan bangsa kita.
Membaca Itu Hobi atau Kebutuhan?
Pertanyaannya, sebenarnya membaca itu hobi atau kebutuhan? Jika membaca dikategorikan sebagai hobi, dimensi membaca dalam realitas sosial menjadi tampak tidak jelas dan tidak memberi rangsangan apa-apa. Kalau membaca hanya sebatas hobi, kapan saja kita lakukan, entah dua kali seminggu atau bahkan dua kali sebulan, tidak menjadi soal. Jika ditempatkan pada konteksnya, membaca sebenarnya merupakan suatu upaya memberi makan pada akal budi manusia. Membaca merupakan kebutuhan mutlak manusia, sama seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Membaca bukanlah kebutuhan mewah yang ditempatkan pada skala khusus. Membaca merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab kita dalam memelihara akal budi dan meningkatkan pengetahuan atau wawasan intelektual.
Mungkin, salah satu penyebab lemahnya semangat membaca masyarakat adalah karena mereka menganggap membaca hanya sekadar hobi yang berkaitan dengan pilihan atau keputusan. Dengan begitu, entah saya membaca atau tidak, itu urusan saya dan saya tidak merugikan siapa pun. Berbeda halnya jika kita menganggap membaca sebagai suatu keharusan atau sebagai kebutuhan mutlak. Anggapan ini akan membuat kita merasa bahwa kehidupan ini bagai burung dalam sangkar, yang hanya menunggu orang lain untuk memberi makan pada akal budi kita, jika kita tidak membaca. Sebaliknya, dengan membaca, kita menolong seseorang untuk bebas berpetualang dalam dunia literatur guna mendapatkan makanan segar dan sehat bagi tubuh dan jiwa. Setelah menyadari hal ini, mari kita jadikan membaca sebagai kebutuhan sehingga jika kita tidak melakukannya, aktivitas, dan intelektualitas kita tidak akan terganggu.
Mari kita menjadi masyarakat yang berbudaya dengan menggiatkan diri pada kebiasaan membaca karena membaca merupakan ciri sekaligus kebutuhan sentral manusia yang berbudaya. Itulah sebabnya, membaca sama pentingnya dengan mendandani tubuh dengan busana budaya. Hal yang sama berlaku pada akal budi atau lebih tepatnya keberadaan manusia. Akal budi membutuhkan makanannya sendiri, yakni membaca dan membaca. Mari kita pacu intelektual kita dan terus tingkatkan kreativitas akal budi kita untuk membangun negeri.
Diringkas oleh : S. Setyawati
Judul buletin: Sahabat Gembala
Penulis: Sostenis Nggebu
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2000
Halaman: 28 - 33
(div.riset)
Sign up here with your email
3 comments
Write commentsmari jadikan budaya membaca sebagai kebiasaan, karena dengan melakukan suatu yang sudah biasa menjadi aneh bila kita tidak melakukannya dalam sehari.
ReplySalam.
ReplyMembaca adalah hobby, memang harusnya begitu, sehingga ia tak membebani jika itu harus di lakukan, tetapi ia punya banyak hal penting dan berharga jika kita terus konsisten dengannya.
Karena Membaca menjadi hobby maka ia pula harus membuat kita fun menjalaninya. Maka yakinlah hobby itu pula yang akan menunjukan hal-hal luar biasa yang beloom anda dapatkan sebelumnya.
Salam
Dari segi hukum, membaca itu wajib. Dari segi pendidikan, membaca membuatmu belajar. Dari segi manajemen, membaca membuat pikiranmu lebih terorganisir. Dari segi sosial, membaca itu pilihan gaya hidup. Dari segi keuangan, membaca membuatmu kere *bercanda (mungkin kita ganti saja kata "kere" dengan "tawaduk" nge he he)
ReplyEmoticonEmoticon